Kisah Seorang Pengayuh Becak
Bai Fang Li, pengayuh becak dari Tianjin, China, tinggal di gubuk tua, di lingkungan kumuh tempat para pengayuh becak dan pemulung tinggal.
Tak ada perabotan berharga di rumahnya. Ia hanya punya satu piring dan satu gelas kaleng sebagai alat makan. Ia tidur beralaskan karpet lama dengan selembar selimut tua sebagai penghangat, dan hanya diterangi lampu minyak.
Penghasilan Bai sebenarnya dapat membuatnya hidup lebih layak. Namun, sejak usia 74, ia menyumbangkan sebagian besar penghasilannya ke sebuah panti asuhan di Tianjin, yang menampung 300 anak dan mengelola sekolah untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Ketika pada umur 91 tahun ia tak sanggup lagi mengayuh becak, Bai telah menyumbangkan uang sebesar 350.000 yuan (Rp 472.500.000)! Meski tak berlimpah harta, ia memutuskan untuk tidak memikirkan diri sendiri dan berani memberi.
Peresmian patung dada Bai Fang Li untuk mengenang jasanya. |
Bila manusia hanya memikirkan diri sendiri, berarti ia sedang mengikuti hikmatnya sendiri. Dari situ, bisa timbul kekacauan dan kejahatan. Bagaimana tidak? Kerap karena mengejar keinginan sendiri, manusia lantas menghalalkan segala cara. Padahal, keinginan adalah sesuatu yang tak pernah dapat terpuaskan.
Hikmat yang dari atas (dari Tuhan) berkebalikan dengan itu. Jika Tuhan berdiam di dalam diri kita, Dia akan mengubah cara kita mengingini sesuatu.
Tuhan akan menolong kita untuk berhenti menyenangkan diri sendiri, serta bertumbuh semakin dewasa dengan menyenangkan Tuhan dan melayani sesama. —Agustina Wijayani
Keegoisan tak pernah dapat dipuaskan. Hanya bersama Tuhan hidup kita dipenuhkan.
* * *
Sumber: e-RH, 31/1/2013 (diedit seperlunya)
Judul asli: Bai Fang Li
==========