01 Mei 2007

Taplak Meja Kenangan

Pada tahun 1960-an ada seorang pendeta muda yang setia melayani walaupun kondisi jemaatnya sangat sederhana dengan bangunan gereja yang sudah sangat buruk dan salah satu sisi dindingnya berlubang cukup besar akibat badai. Ia hanya berdoa untuk perbaikan dinding gereja tersebut.

Suatu siang ia pergi ke tempat pelelangan dan membeli sehelai taplak meja berenda yang berwarna keemasan. Tidak ada orang yang tertarik dengan taplak tersebut karena ukurannya sangat besar. Namun pendeta ini berpikir bahwa taplak itu akan berguna untuk menutup lubang di dinding gerejanya. Ia berhasil membelinya dengan harga 6 dolar dan pulang dengan hati gembira.

Ketika tiba di halte bus dekat gereja, ia berhenti karena melihat seorang wanita tua yang menggigil kedinginan. Ia menghampiri wanita itu, memperkenalkan diri dan menawarkan tempat istirahat di gereja untuk menghangatkan badannya. Wanita itu menerima ajakan sang pendeta dengan senang hati.

Setelah mempersilakan wanita itu duduk, ia langsung menutup lubang di dinding gerejanya dengan taplak meja tersebut. Karena sudah merasa cukup hangat, wanita itu menghampiri sang pendeta dan ia terpaku ketika melihat taplak tersebut.

“Kain itu mengingatkanku akan taplak meja milikku yang diberikan oleh suamiku,” katanya dengan suara lirih. Sambil menangis ia mengamati taplak meja itu dan melihat apa yang tersulam di bagian sudutnya. “Ini inisialku,” katanya dengan yakin.

Kemudian ia menceritakan bahwa sebelum Perang Dunia II, ia adalah seorang wanita kaya di Wina, Austria. Perang menyebabkan ia harus kehilangan keluarga dan hartanya. Ia baru saja melamar pekerjaan sebagai pengasuh anak, tetapi gagal. “Mungkin aku terlalu tua,” katanya putus asa.

Ketika usai kebaktian sore, banyak jemaat yang mengomentari taplak meja tersebut. Seorang pria seakan terhipnotis oleh taplak meja itu, lalu menghampiri sang pendeta dan menceritakan bahwa dulu ia pernah memberikan taplak serupa kepada istrinya.

“Aku dulu tinggal di Wina sebelum Hitler menyatakan perang. Dalam suasana kacau seluruh keluargaku menghilang. Aku mencari mereka, namun mereka dinyatakan meninggal. Aku tidak sanggup tinggal di Wina sehingga memutuskan untuk menetap di Amerika.”

Singkat cerita, akhirnya pria itu bersatu kembali dengan istrinya. Setelah bertahun-tahun berpisah, mereka dipersatukan oleh taplak meja yang pernah menghiasi hidup mereka.

Apa pun dapat membuat kita lupa atau terpisah dengan orang yang kita kasihi. Perang, kesalahpahaman, uang, harta, warisan, keegoisan, cemburu, sifat yang tidak mau mengalah, kekerasan hati, kekecewaan, penganiayaan, kelaparan, dan sebagainya. Namun hanya satu yang dapat mempersatukan kita kembali, yaitu kasih!

Sumber: Renungan Harian Manna Sorgawi, 26 Mei 2007.

03 April 2007

Pengorbanan Seorang Ibu

Pada akhir tahun 1863, di Wales Selatan, seorang ibu berjalan kaki sambil menggendong bayinya menuju ke suatu tempat. Tiba-tiba datang badai salju menyerang sang ibu dan bayinya. Karena hebatnya badai tersebut, tidak seorang pun yang berani keluar untuk menolong mereka.

Beberapa jam kemudian badai reda. Beberapa orang berusaha mencari sang ibu dan bayinya. Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sang ibu telah menjadi mayat, tertutup salju tebal. Mereka sangat heran karena ternyata sang ibu telah melepaskan mantel bajunya.

Setelah mereka mengangkat mayatnya, mereka menemukan sang bayi yang masih hidup dengan dibalut mantel hangat di bawah badan ibu tersebut. Sang ibu tidak lagi mempedulikan keselamatannya. Ia hanya menginginkan agar bayinya dapat selamat, walaupun ia harus mengorbankan nyawanya.

Bayi tersebut kemudian bertumbuh dewasa dan menjadi seorang negarawan besar, yakni perdana menteri Inggris yang memerintah pada 1916 – 1922. Ia adalah David Lloyd George (1863 – 1945).

Sumber: 50 Renungan yang Membawa Berkat, Chandra Suwondo, Metanoia Publishing, 2006, hlm. 4 – 5.

13 Maret 2007

Kemurahan di Tengah Penderitaan

Banjir besar kembali melanda Jakarta awal Februari 2007. Kali ini jauh lebih dahsyat daripada banjir serupa lima tahun sebelumnya. Di tengah penderitaan begitu banyak orang, ada seseorang yang bersedia membuka rumahnya untuk menampung sekitar 80 pengungsi korban banjir. Ia adalah Ulf Samuelsson, Wakil Duta Besar Swedia untuk Indonesia.

Para pengungsi itu adalah tetangganya, penduduk kampung di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Ternyata, di balik deretan rumah besar nan asri serta kafe-kafe elite di kawasan itu, tersembunyi perkampungan sederhana yang padat di tepi Kali Krukut. Banjir besar 2007 nyaris menenggelamkan perkampungan itu.

Diplomat muda berusia 32 tahun itu mengaku tidak punya alasan khusus ketika memutuskan untuk membuka rumahnya. Ia berkata, "Kenapa tidak? Rumah saya lebih tinggi, kering, ada ruang cukup luas, ada kamar mandi, ada dapur untuk masak. Dan tetangga saya kebanjiran."

Kamis, 1 Februari 2007 malam menjadi momen yang tak terlupakan dalam hidupnya. Ketika pulang ke rumah sekitar pukul 23.00, Ulf menyaksikan jalan kecil di depan rumahnya telah berubah menjadi sungai yang berarus deras. Di tengah deraian hujan, penduduk kampung berlarian kalang kabut sambil menggendong anak kecil dan membawa barang sekenanya.

Tanpa berpikir panjang, Ulf segera mempersilakan mereka untuk masuk ke rumahnya. Ibu Ida, seorang tetangganya yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di rumah itu, langsung bertugas sebagai koordinator pengungsi.

"Tapi saya malu juga waktu itu. Ternyata saya enggak punya makanan. Enggak punya apa-apa. Ya, saya tinggal sendiri, sering makan di luar atau beli bakso yang lewat saja," ujar Ulf yang masih membujang itu.

Menurut Bu Ida, malam itu Ulf lalu membelikan mi instan dan air minum kemasan. Tak hanya seluruh ruang pribadinya yang dibuka lebar-lebar bagi para pengungsi. Tumpukan pakaian di lemarinya, selimut, hingga seluruh handuknya pun diserahkan kepada para pengungsi. Sampai-sampai Ulf sendiri sempat tak punya handuk untuk dirinya.

Jumat, 2 Februari 2007, sekitar pukul 04.00, barulah Ulf tertidur setelah mengemong anak-anak para pengungsi dengan membacakan cerita The Hobbit dalam bahasa Indonesia. "Saya pikir mereka perlu ditenangkan waktu itu," ujar sarjana Ilmu Politik dari Universitas Uppsala di Swedia yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Sumber: Kompas, 20 Februari 2007, hlm. 16

Artikel Terbaru Blog Ini