Keterbatasan Ibu Isti Rohanah
Ternyata kisah tentang kasih yang dialirkan dalam keterbatasan tidak hanya ada di luar negeri saja, tetapi di sekitar kita pun ada. Mengapa tidak terekspos? Mungkin karena tidak ada yang memerhatikan dan kita tidak menyediakan waktu untuk mendengarkan kisah-kisah sederhana, namun menginspirasi itu.
Ibu Isti Rohanah adalah seorang koster atau petugas kebersihan gereja. Kegiatannya sehari-hari membersihkan lantai, mengatur kursi, menggelar karpet, dan mempersiapkan ruang ibadah di GBI Jl. Tampak Siring, Jakarta.
Sepeninggal almarhum suaminya, Ibu Isti harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia berjuang keras untuk mendidik dan membesarkan kelima orang anaknya.
Ibu Isti dan anak-anaknya tinggal di rumah yang sebenarnya tidak layak huni. Namun rumahnya yang sudah lapuk dan berlantaikan tanah, dijadikan tempat untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak kurang mampu yang ada di lingkungannya. Rumah itu dijadikan tempat bimbingan belajar (bimbel) di daerah Pedongkelan.
Bimbel di rumah Ibu Isti dimulai pada awal 2008, saat pasangan Bapak Eli dan Ibu Anna membagikan kerinduannya untuk memberikan bimbel secara gratis bagi anak-anak di sekitar Pedongkelan, namun tidak memiliki tempat.
Sebetulnya Bapak Eli dan Ibu Anna telah memulai bimbel pada tahun 2005, namun kegiatan itu terhenti karena rumah yang mereka tempati dulu tidak terbuka lagi. Ketika mendengar kesulitan itu, Ibu Isti menawarkan rumahnya sebagai tempat bimbel.
“Saya kasihan sama anak-anak, karena mereka sebenarnya sangat antusias ikut bimbel. Saya membuka rumah ini untuk dipakai sebagai tempat bimbel. Hanya inilah yang dapat saya lakukan. Dalam doa, saya berkata kepada Tuhan bahwa saya tidak memiliki apa-apa. Namun apa yang ada pada saya, akan dipersembahkan untuk Tuhan. Biarlah rumah saya bisa menjadi berkat bagi lingkungan di sekitar sini,” kata Ibu Isti ketika diwawancarai.
Selain memiliki hati yang peduli, ada satu teladan lagi yang ditunjukkan wanita mandiri ini. Di tengah-tengah kesibukan dan keterbatasannya, Ibu Isti berkomitmen untuk melayani Tuhan. Setiap Minggu pagi dia hadir di gereja untuk bekerja dan sore harinya ia melayani sebagai pendoa syafaat.
“Saya merasa ada yang hampa kalau tidak beribadah dan melayani. Hidup ini kan bukan hanya urusan pekerjaan di dunia saja,” komentar wanita itu.
Menjadi saluran berkat di dalam kelimpahan adalah baik, tetapi menjadi berkat di dalam keterbatasan itu baru luar biasa! Jadi, meskipun kita sarat dengan keterbatasan, paculah diri kita untuk menjadi berkat di mana pun kita berada.
Sosok janda di Sarfat dicatat di Alkitab dalam kitab 1 Raja-raja 17:7-16 karena ia bersedia menjadi berkat di dalam keterbatasannya. Nabi Elia terpelihara dalam sisa masa kelaparan yang panjang karena janda itu membuka dirinya untuk menjadi saluran berkat.
Temukanlah di sisi kehidupan mana kita bisa menjadi berkat dan mulailah membuka diri!
Doa:
Tuhan, aku tidak akan membiarkan kelemahan dan keterbatasan menjadi penghalang untuk menyalurkan kasih.
* * *
Sumber: Manna Sorgawi, 19 November 2009 (diedit seperlunya)
Di-online-kan oleh Paulus Herlambang
=======