11 November 2012

Tiada Kata Pensiun


Misionaris Bertha Smith melayani Tuhan dengan setia di China sampai usia tujuh puluh tahun. Ia dipaksa untuk pensiun karena kebijakan dewan misinya. Namun, ia masih belum siap untuk pensiun.

“Rasanya sungguh memilukan!” tulisnya, “Aku tidak pernah membayangkan untuk menghentikan pekerjaanku bersama orang China. Pulang ke tempat asalku terasa sangat memilukan. Aku masih melakukan pekerjaan selama lima belas jam sehari, dan aku tidak pernah merasa terlalu lelah untuk bangun keesokan harinya.”

Bertha menerima keputusan pensiunnya itu sebagai keputusan yang berasal dari Tuhan. Ia merasa yakin bahwa Tuhan telah menyiapkan pekerjaan baru baginya.

Tak lama kemudian, ia kebanjiran undangan untuk berbicara dan membagikan prinsip-prinsip kebangunan rohani yang telah dia amati dan pelajari di China.

Lalu dia melakukan banyak perjalanan ke Amerika dan ke seluruh dunia, melakukan pelayanan yang menguras tenaga dengan menceritakan kisah kebangunan rohani.

(Bertha Smith)

Selama hampir tiga puluh tahun kemudian, ia melayani Tuhan pada masa pensiunnya, lalu ia masuk ke dalam ‘kemuliaan’ tepat lima bulan setelah ulang tahunnya yang ke-100.

Seperti Bertha, John Wesley pada ulang tahunnya yang ke-71 juga menulis, “Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan kekuatan yang sama seperti yang aku dapatkan 30 tahun yang lalu? Bagaimana mungkin daya penglihatanku bisa dikatakan lebih baik sekarang, dan urat syarafku lebih kencang dari sebelumnya?”

Sembilan tahun kemudian, menjelang usianya yang ke-80, John berkata, “Tuhan jangan biarkan aku hidup sia-sia.”

Kesaksian Bertha Smith dan John Wesley memberi inspirasi bahwa semakin berumur mereka pantang berhenti untuk melayani Tuhan, bahkan mereka semakin bersemangat melayani. —Lydia Ong

Jangan tawar hati menghadapi hidup. Teruslah bersemangat dan berjuang sampai pada masa perhentian kekal kita.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 11/11/2012 (dipersingkat)

Judul asli: Semangat

==========

04 November 2012

Lebih dari Sekadar Receh


"Mohon bantuan untuk membeli buku sekolah." Kertas itu diletakkan oleh seorang gadis kecil di meja warung makan tempat saya bersantap.

Saya bergumul bagaimana harus meresponsnya. Bukankah jika saya mengaku mengasihi Tuhan, saya seharusnya membantu? Namun, saya pernah diperingatkan adanya kelompok yang sengaja mempekerjakan anak-anak untuk mengemis.

Bisa saja saya justru turut andil membuatnya bertumbuh dengan mental peminta-minta. Apakah itu yang disebut kasih?

Yesus, yang sempurna kasih-Nya kepada Bapa, juga pernah menghadapi pengemis. Apa yang dilakukan-Nya? Dia tidak memberi receh ketika orang itu minta belas kasihan; juga tidak marah karena perjalanannya diganggu.


Dia berhenti, memerhatikan dari dekat, dan menanyakan kebutuhannya. Tampaknya si pengemis sudah mendengar siapa Yesus. Bukan sedekah yang ia minta, melainkan penglihatan yang dapat mengubah hidupnya.

Tindakan kasih Yesus tak hanya memenuhi kebutuhan si pengemis, tetapi juga membawa banyak orang memuji Allah.

Saya ingin mengikuti jejak Yesus. Jadi, meski bergumul, saya menanyakan kebutuhannya. "Buku apa yang kamu perlukan? Saya akan membelikannya untukmu."

Gadis itu terkejut. Ia bergegas menjauh. Tampaknya ia tidak benar-benar membutuhkan buku. Saya tercenung, sedih.

Tidak semua pengemis di kota Yerikho sungguh-sungguh ingin mengalami perubahan hidup. Tidak juga di Indonesia. Namun, saya belajar satu hal.

Mengasihi Tuhan itu bukan sekadar memberi receh agar saya terbebas dari gangguan, tetapi memberi diri memerhatikan kebutuhan sesama yang sesungguhnya, seperti teladan Yesus. –MEL

* * *

Sumber: e-RH, 4/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

Artikel Terbaru Blog Ini